Batu Gajah "Kutukan" Si Pahit Lidah
by salam bunga sepasang on Nov.22, 2009, under
Pernah dengar Cerita si Pahit lidah?
Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang
keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda
yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat
Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info
populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan
bentuk manusia dan binatang.
Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak
zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub
dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah
sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan
Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi
antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan
Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak
sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC
Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu
berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik
yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar
tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi
(49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari
lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi
Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok
sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan
hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit
seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong,
telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher.
Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung
manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal,
hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk.
Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum
pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di
balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang
dengan dua tokoh manusia."
Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian
arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu
besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik
lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar
lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak
peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu,
tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia
sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan
kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan
manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning,
putih, dan hitam.
"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa
pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal
manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian
yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di
sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak
sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan...,"
tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Obyek studi
Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan
seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872
menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang,
als van Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam
pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in
South Sumatra, 1932.
Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di
Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra ,
seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan,
kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu
membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak
menengadah.
"Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain
gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau
merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis
itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar
Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi
megalit di Sumsel.
Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan
kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat,
tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan
proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti
Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan
tersendiri.
"Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak
mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan
ilmiah," ucapnya.
Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai
dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah,
pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang
dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan
ilmiahnya.
Kisah manusia dan gajah yang "dikutuk" Si Pahit Lidah menjadi batu
kaku hanya menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu
ada tokoh "Si Manis Lidah" agar bisa menjelaskan latar belakang budaya
luhur Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah
Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang
keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda
yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat
Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info
populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan
bentuk manusia dan binatang.
Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak
zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub
dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah
sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan
Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi
antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan
Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak
sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC
Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu
berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik
yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar
tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi
(49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari
lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi
Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok
sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan
hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit
seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong,
telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher.
Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung
manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal,
hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk.
Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum
pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di
balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang
dengan dua tokoh manusia."
Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian
arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu
besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik
lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar
lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak
peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu,
tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia
sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan
kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan
manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning,
putih, dan hitam.
"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa
pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal
manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian
yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di
sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak
sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan...,"
tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Obyek studi
Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan
seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872
menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang,
als van Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam
pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in
South Sumatra, 1932.
Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di
Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra ,
seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan,
kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu
membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak
menengadah.
"Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain
gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau
merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis
itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar
Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi
megalit di Sumsel.
Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan
kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat,
tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan
proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti
Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan
tersendiri.
"Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak
mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan
ilmiah," ucapnya.
Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai
dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah,
pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang
dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan
ilmiahnya.
Kisah manusia dan gajah yang "dikutuk" Si Pahit Lidah menjadi batu
kaku hanya menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu
ada tokoh "Si Manis Lidah" agar bisa menjelaskan latar belakang budaya
luhur Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
cakcuklet@yahoo.com. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar